Tunjangan DPR RI: Kemewahan Anggota Dewan Menghantam Rasa Keadilan Publik
Foto oleh Tom Fisk dari pexels.com
Di saat banyak warga tengah bergelut dengan naiknya harga kebutuhan pokok, rendahnya upah, dan kondisi ekonomi yang mirip bergulat. Di sisi lain, anggota DPR justru menikmati lonjakan tunjangan—mulai dari perumahan hingga transportasi.
Ketimpangan ini bukan hanya menimbulkan kemarahan publik, tapi juga memperlebar jurang ketidakpercayaan terhadap lembaga legislatif. Kenaikan tunjangan tersebut menohok nurani publik yang masih berharap wakil rakyatnya hadir di tengah problem ekonomi, bukan di pentas kemewahan yang jauh dari realitas. Secara tidak langsung, hal demikian menjadi gambaran sistem politik Indonesia yang tidak sedap untuk dinikmati.
DPR RI menaikkan tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan, plus tunjangan transportasi/bensin dari Rp4-5 juta menjadi Rp7 juta per bulan. Semua ini disorot tajam karena bertepatan dengan meningkatnya kesulitan ekonomi rakyat–terutama buruh dan pekerja informal–yang sebagian bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Bayangkan, banyak orang masih melebihkan nasi demi lauk, atau memilih satu jenis sayuran saja karena terbatasnya dana. Wakil rakyat justru mendapatkan tambahan tunjangan yang jauh melampaui kebutuhan rumah tangga rata-rata. Alasan kenaikan ini–seperti untuk menyesuaikan harga beras atau bensin–menjadi sulit diterima publik kala masih banyak warganya yang kesulitan membeli beras sendiri.
Bukan hanya angka, perangai sebagian anggota DPR juga memicu kemarahan publik. Beberapa pernyataan dinilai arogan dan jauh dari empati: salah satunya Adalah sikap seperti meremehkan tuntutan rakyat hinnga menambah luka emosional yang mendalam.
Reaksi rakyat tak tinggal diam: unjuk rasa digelar, dan beberapa massa bahkan terlibat bentrokan dengan apparat keamanan. Dampaknya lebih jauh: protes nasional ini menghentak kesadaran bahwa pemerintah dan parlemen perlu berhenti berkaca hanya kepada elitnya sendiri.
Menurut data independen, anggota DPR bisa menerima penghasilan hingga lebih dari Rp100 juta per bulan. Bahkan ada estimasi hingga Rp230 juta jika dihitung semua tunjangan dan penghasilan lainnya.
Masyarakat bertanya, dari mana angka sebesar itu layak dijawab dengan kenaikan tunjangan semacam itu–apalagi jika kinerja legislatif dianggap belum substansial? Ratusan juta per bulan bisa jadi dimaknai sebagai pemborosan publik, bukan investasi demokrasi.
Respons publik terhadap kebijakan tunjangan ini tak sekadar protes biasa–namun telah meluas menjadi krisis kepercayaan. Demonstrasi melibatkan pelajar, buruh, ojek online, dan elemen masyarakat lain di banyak kota–Jakarta, Medan, Pontianak, dan seterusnya.
Foto oleh Irgi Nur Fadil dari Pexels.com
Aksi semacam ini juga menumbuhkan tuntutan reformasi serius: dari pembubaran DPR hingga revisi hak kedisiplinan legislatif, evaluasi gaji dan tunjangan, sampai restrukturisasi sistem penggajian anggota dewan. Massa ingin representasi yang nyambung dengan realita, bukan dengan elit yang terisolasi.
Sejauh mana DPR memahami fungsi utamanya? DPR semestinya menjadi wadah representasi rakyat–pengambilan keputusan yang memihak kesejahteraan masyarakat–bukan tempat eksklusif yang menambah gap kemapanan antara elit dan warga biasa. Sebagian partai dan politikus bahkan menarik diri dari tunjangan ini atau meminta evaluasi—tapi apakah itu cukup?
Apalagi ketika ketidakpekaan tidak teratasi hanya lewat gestur sementara. Institusi legislatif perlu restorasi kepercayaan publik secara menyeluruh, lewat transparansi, audit independen, dan privatasi moral.
Jika peningkatan pendapatan harus ada, paling tidak disertai tujuan yang jelas. Misalnya, tunjangan yang dikaitkan dengan hasil kerja, kehadiran legislatif di wilayah, atau realokasi anggaran ke program publik seperti pendidikan, kesehatan, dan pelatihan kerja.
Beberapa politisi sudah berkomitmen mendonasikan tunjangan kepada masyarakat, atau membuka dialog publik. Langkah ini patut diapresiasi sebagai pelajaran penting: legitimasi kekuasaan harus dibangun kembali lewat tindakan nyata, bukan janji politik belaka.
Kenaikan apa pun yang menyangkut wakil rakyat mestinya dilakukan dengan rasa tanggung jawab sosial yang kuat. Tidak boleh uang rakyat justru digunakan untuk memperkuat kesenjangan ekonomi dan memicu rasa iri serta kekecewaan—sebaliknya.
Kegunaan dana publik harus memperkuat keadilan sosial dan meningkatkan kualitas hidup secara merata. Sistem demokrasi sehat bukan hanya soal suara dan kebebasan berpendapat, melainkan juga integritas kelembagaan—serta rasa hormat terhadap penderitaan dan harapan rakyat.
Lonjakan tunjangan DPR di tengah kesulitan ekonomi masyarakat bukan hanya soal angka—ia adalah cermin ketidakpekaan, fragilnya legitimasi, dan urgensi reformasi demokrasi. Rakyat menuntut lebih dari sekadar simbol; mereka butuh representasi yang hadir dalam kegundahan mereka, bukan menyulut jurang antara privilese dan tekanan hidup sehari-hari.
Jika DPR tidak menyambung kembali dengan keinginan dasar publik—keadilan, keberpihakan, dan kejujuran—maka ruang dialog demokrasi akan semakin hampa. Lebih dalam merembes ke alienasi massa dan instabilitas politik. Sekarang, bukan hanya waktu untuk 'say sorry'; ini waktu untuk bertindak, mengevaluasi, dan berubah.
Masyarakat telah berbicara—melalui suara lantang dan aksi nyata. Respons politik yang menunda atau angin-anginan tidak akan memadamkan rasa sakit publik atau restitusi kepercayaan.
Reformasi sejati membutuhkan kejelasan visi: menata sistem tunjangan wakil rakyat yang adil, menguatkan fungsi legislatif yang pro-rakyat, dan membangun kembali kepercayaan dengan kerja nyata.
Demokrasi Indonesia tidak tumbuh dari privilegie semata, tapi dari kesadaran kolektif bahwa orang-orang yang kita pilih bergerak bersama, bukan di atas mereka yang memilih. Reformasi —bukan retorika—lah yang perlu kita tuntut.
Editor: Diana Ayu
Posting Komentar untuk "Tunjangan DPR RI: Kemewahan Anggota Dewan Menghantam Rasa Keadilan Publik"
Posting Komentar