TKA Online: Antara Harapan Baru dan Rasa Cemas di Balik Jalur SNBP

Polemik tentang Tes Kemampuan Akademik atau TKA online yang diluncurkan Kemendikdasmen sedang memanas di ruang publik. Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2026 menetapkan tes ini sebagai syarat baru dalam jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). 

Keputusan ini mengejutkan banyak pihak karena selama ini jalur prestasi hanya mengandalkan nilai rapor. Kini, nilai hasil tes kemampuan akademik ini menjadi penentu tambahan atau validasi yang tidak bisa diabaikan.

Pemerintah beralasan bahwa program ini hadir untuk memperkuat validitas seleksi. Ketua Umum SNPMB, Eduart Wolok, menegaskan nilai tes ini akan menjadi validator nilai rapor yang diserahkan siswa dari semester 1-5. 

Dalam pernyataannya, ia mengatakan, “TKA ini bukan penentu kelulusan, melainkan pendukung seleksi untuk memastikan nilai rapor yang diserahkan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.” Artinya, nilai rapor saja tidak lagi cukup untuk menjamin kelulusan. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan tersebut, sistem diharapkan lebih objektif dan adil.

Namun, publik tidak serta merta menerima perubahan ini. Banyak orang tua dan siswa merasa kebijakan tersebut datang tiba-tiba tanpa persiapan matang. Jalur prestasi yang dianggap sebagai jalur aman, kini berubah menjadi jalur penuh ketidakpastian. TKA online akhirnya dipandang sebagai sumber kecemasan baru.

Masalah teknis menjadi sorotan utama. Indonesia masih bergulat dengan ketidakmerataan jaringan  internet. Di kota besar, pelaksanaan tes ini mungkin berjalan dengan mulus. Akan tetapi,di daerah terpencil, akses yang terbatas akan menjadi penghalang besar. 

Bagaimana mungkin seleksi nasional bisa adil jika kesempatan itu tidak merata?

Soft Lounching TKA Online

Kesenjangan ini bukan sekadar soal teknis. Ia menyentuh rasa keadilan sosial. Peserta dari keluarga mampu bisa dengan mudah mengakses perangkat canggih dan jaringan stabil. Sementara itu, banyak siswa di pelosok harus berjuangan dengan fasilitas seadanya. Jika TKA online dipaksakan tanpa Solusi, jalur SNBP akan kehilangan makna keadilannya.

Selain itu, integritas sistem juga dipertanyakan. Publik khawatir kebocoran soal dan manipulasi teknis dapat terjadi dalam TKA online. Tanpa jaminan keamanan, hasik tes bisa diragukan. Kepercayaan masyarakat pada seleksi masuk perguruan tinggi pun bisa runtuh.

Reaksi keras muncul dari siswa kelas 12 yang sedang Bersiap menghadapi seleksi. Mereka merasa dipaksa untuk beradaptasi dengan sistem baru yang belum sepenuhnya dipahami. Seorang siswa mengungkapkan kegelisahannya, “Kami sudah belajar keras dari kelas 10 demi nilai rapor. 

Sekarang rasanya semua itu tidak cukup karena masih harus dibuktikan lewat serangkaian tes akademik.” Orang tua pun ikut resah. Jalur SNBP yang dulu dianggap jalan prestisius kini penuh risiko akibat TKA online. 

Data resmi menunjukkan bahwa SNBP 2025 lalu, jumlah pendaftar mencapai lebih dari 670 ribu siswa, sementara hanya sekitar 170 ribu kursi yang tersedia di perguruan tinggi negeri. 

Angka ini menggambarkan betapa ketatnya persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Dengan tambahan syarat, tekanan psikologis terhadap ratusan ribu siswa jelas semakin berat.

Di sisi lain, pemerintah menekankan bahwa TKA online bukan pengganti nilai rapor. Tes ini hanya sebagai pelengkap dan penguat seleksi saja. 

Namun, dalam praktinya, setiap tambahan syarat selalu membawa konsekuensi. Tidak sedikit siswa yang merasa peluangnya masuk perguaruan tinggi negeri semakin kecil.

Padahal, esensi jalur prestasi adalah memberikan penghargaan pada kerja keras akademik selama di sekolah. Jika hasil rapor masih harus divalidasi, maka makna penghargaan itu berkurang. Banyak siswa merasa usaha mereka bertahun-tahun bisa hilang hany akrena gagal dalam ujian daring singkat itu.

Kritik juga datang dari pemerhati Pendidikan. Mereka menilai kebijakan ini harus dibarengi dengan perbaikan infrastruktur digital. Tanpa dukungan infrastruktur, TKA online hanya akan memperdalam jurang ketidaksetaraan. Pendidikan justru berubah menjadi perlombaan fasilitas, bukan lagi perlombaan prestasi.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap peluan. TKA online bisa menjadi langkah maju jika dilaksanakan dengan persiapan matang. Tes ini dapat meminimalisir praktik manipulasi nilai rapor. Ia juga bisa menjadi standar baru untuk mengukur kesiapan akademik calon mahasiswa secara nasional.

Harapan ini hanya bisa terwujud jika pemerintah serius. Infrastruktur digital harus diperluas hingga ke pelosok negeri. Sistem keamanan soal harus dijaga dengan ketat. Panitia juga wajib menyediakan mekanisme antisipasi jika peserta mengalami kendala teknis..

Kita perlu mengingat bahwa pendidikan adalah hak semua anak bangsa. Jangan sampai TKA online justru menjadi penghalang. Seleksi perguruan tinggi negeri harus memberi kesempatan yang sama bagi setiap siswa, tanpa memandang latar belakang sosial atau wilayah tempat tinggal.

Masyarakat kini menunggu langkah konkret. Panitia SNPMB harus membuka ruang dialog yang lebih luas dengan publik. Kebijakan besar seperti ini tidak boleh diputuskan sepihak. Aspirasi siswa, guru, dan orang tua harus didengar agar sistem ini bisa berjalan adil.

Editorial ini ingin menegaskan kembali bahwa pendidikan bukan sekadar administrasi. Pendidikan adalah soal masa depan generasi bangsa. TKA online boleh diterapkan, tetapi jangan sampai ia menambah beban dan ketidakadilan. Tanpa keadilan, semua teknologi hanya menjadi hiasan tanpa makna.

Pada akhirnya, publik tidak menolak kemajuan. Publik hanya meminta keadilan. Jika dijalankan dengan serius, transparan, dan manusiawi, maka ia bisa menjadi simbol reformasi pendidikan yang membanggakan. Tetapi jika dilakukan setengah hati, TKA online hanya akan meninggalkan luka dalam sejarah seleksi nasional.

Jika melihat praktik di negara lain, penerapan ujian berbasis daring bukan hal baru. Jepang telah lebih dulu menggunakan sistem tes berbasis komputer untuk seleksi universitas. Namun, pemerintah mereka memastikan infrastruktur internet merata hingga ke pelosok. 

Korea Selatan juga memadukan ujian daring dengan sistem pengawasan ketat sehingga keamanannya terjamin. Perbandingan ini menunjukkan bahwa program ini bisa berhasil jika dibarengi dengan kesiapan negara, bukan hanya kebijakan sepihak.

Indonesia bisa belajar dari pengalaman tersebut. Jika ingin TKA online  menjadi instrumen positif, pemerintah harus berkomitmen penuh terhadap pemertaan akses dan transparasi. Tanpa itu, kita hanya akan menciptakan kesenjangan baru. 

Opini ini juga mengingatkan bahwa setiap kebijakan pendidikan harus berpihak pada siswa, bukan menambah tekanan yang membuat mereka kehilangan harapan.

Agar sistem lebih adil, pemerintah bisa menyiapkan beberapa solusi konkret. Pertama, menyediakan pusat tes bersama di sekolah-sekolah negeri atau kampus yang terhubung dengan jaringan internet stabil sehingga siswa dari daerah minim infrastruktur tetap bisa mengikutinya dengan layak. 

Kedua, memberi subsidi kuota internet khusus bagi peserta SNBP yang mengikuti tes, agar faktor ekonomi tidak menjadi penghalang. Ketiga, melakukan simulasi nasional TKA online secara berkala sejak jauh hari, sehingga siswa terbiasa dengan sistem sebelum menghadapi tes penentuan.

Selain itu, pemerintah juga perlu menggandeng pihak independen untuk mengawasi jalannya serangkaian tes. Pengawasan ini penting agar tidak ada praktik kecurangan, kebocoran soal, atau manipulasi teknis. Transparansi akan meningkatkan kepercayaan publik sekaligus membuktikan bahwa seleksi benar-benar dilaksanakan secara adil.

Dengan langkah-langkah tersebut, TKA online bisa menjadi instrumen yang tidak hanya sahih secara akademik, tetapi juga adil secara sosial. Kebijakan ini memang membawa tantangan besar, tetapi jika dijalankan dengan keseriusan dan niat baik, ia bisa menjadi titik balik penting bagi reformasi pendidikan di Indonesia.

Namun, semua itu hanya akan berarti jika ada kemauan politik dan kepedulian nyata. Pemerintah tidak boleh menutup telinga terhadap suara siswa, guru, dan orang tua. Publik harus diberi ruang untuk menyampaikan masukkan, karena Pendidikan bukan milik birokrat semata, melainkan milik bangsa.

Kita perlu mengingat bahwa setiap anak yang mengikuti sedang memperjuangkan masa depannya. Mereka bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan generasi penerus yang akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. 

Jika sistem ini dijalankan dengan adil, mereka akan tumbuh dengan keyakinan bahwa negeri ini benar-benar berpihak pada usaha dan prestasi.

Mari kita kawal bersama kebijakan Kemendikdasmen ini agar tidak hanya menjadi beban, tetapi juga harapan. Mari pastikan bahwa seleksi masuk perguruan tinggi negeri tetap menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan. Sebab pendidikan sejatinya bukan tentang kompetisi semata, melainkan tentang membuka jalan bagi semua anak bangsa untuk meraih cita-cita mereka.

Posting Komentar untuk "TKA Online: Antara Harapan Baru dan Rasa Cemas di Balik Jalur SNBP"