Bencana Alam: Ketika Alam Tak Lagi Ramah, Salah Siapa?

Foto oleh Ken Cheatham dari Pexels.com

Hampir dua decade sudah berlalu sejak semburan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo, pertama kali muncul pada 29 Mei 2006. Hingga saat ini, semburan itu belum berhenti, bahkan terus menebar dampak yang berkepanjangan bagi masyarakat, lingkungan, dan negara.

Tragedi ini adalah luka ekologis sekaligus luka sosial yang belum sembuh. Setiap tahun peringatan hanya mengingatkan kita pada kegagalan negara, lemahnya regulasi, serta tanggung jawab perusahaan dan setengah hati.

Opini ini menegaskan: ketika alam tak lagi ramah, penyebab utamanya seringkali bukan semata-mata karena “bencana alam” atau gejala geologi murni. Ada melainkan campur tangan manusia yang abai.

Pertanyaan yang selalu menghantui – “salah siapa?” Tentu bukan hanya ditujukan kepada perusahaan pengeboran, tetapi juga kepada negara yang lalai, regulasi yang longgar, dan masyarakat lua yang terlalu cepat lupa.

Semburan lumpur panas menenggelamkan 16 desa di 3 kecamatan, merusak lebih dari 70 tempat ibadah, 18 sekolah, fasilitas umum, jalan raya bahkan jalur rel kereta api. Setidaknya 45.000–60.000 jiwa harus kehilangan rumah dan tanahnya. Rumah yang dulunya menjadi simbol kehangatan cinta keluarga kini hanya tinggal dalam ingatan.

Namun, kerusakaan itu bukan hanya soal fisik. ekosistem berubah drastis. Air tanah terkontaminasi, udara dipenuhi gas beracun, dan tanggul raksasa yang dibangun untuk menahan semburan menciptakan risiko baru.

Ancaman amblasan tanah dan potensi bocoran di titik lain. Warga hidup dalam ketakutan yang berlarut, menunggu apakah lumpur akan kembali merangsek mendekati tempat tinggal mereka yang tersisa.

Lebih parah lagi, korban yang kehilangan mata pencahariannya. Petani tak bisa lagi menanam karena sawah terkubur. Nelayan kehilangan akses sungai karena tercemar. Usaha kecil gulung tikar.

Sebagian warga kini menggantungkan hidup pada pekerjaan informal—berjualan kecil-kecilan di sekitar tanggul atau menjadi juru parkir bagi wisatawan yang datang sekadar melihat semburan. Dampak sosial budaya pun menghantam keras.

Desa-desa hilang, yang berarti hilang pula ikatan komunitas, tradisi, bahkan sejarah lokal. Generasi muda tumbuh tanpa pernah merasakan kampung halaman mereka sendiri, hanya mendengar cerita dari orang tua tentang desa yang kini tinggal nama. Trauma turun-temurun inilah yang tak bisa diukur dengan nominal ganti rugi.

Dampak sosial budaya pun menghantam keras. Desa – desa hilang, yang berarti hilang pula ikatan komunitas, tradisi, adat, bahkan sejarah lokal. Generasi muda tumbuh tanpa pernah merasakan kampung halaman mereka sendiri, hanya mendengar cerita dari orang tua tentang desa yang kini tinggal nama dan kenangan. Trauma turun-temurun inilah yang tidak bisa diukur dengan nominal ganti rugi.

Foto oleh Tudor S dari Pexels.com

Mengapa tragedi ini bisa terjadi dan berlangsung begitu lama? Jawabannya ada pada lemahnya regulasi dan pengawasan. Izin pengeboran gas yang diberikan kepada PT Lapindo Brantas kala itu tidak dibarengi dengan analisis risiko geologi yang komprehensif.

Proses pengawasan negara terhadap aktivitas perusahaan pun tidak ketat. Ketika semburan terjadi, alih-alih ada langkah mitigasi cepat dan menyeluruh, yang muncul justru salling tunding: apakah ini murni bencana alam atua kelalaian manusia?

Pemerintah semestinya berdiri tegak di pihak rakyat, tetapi kenyataannya, respons negara terkesan lamban dan parsial. Program Ganti rugi yang dicanangkan masih menyisakan banyka warga yang belum menerima haknya. Transparasi data pun minim. Warga terdampak kerap merasa diperlakukan hanya sebagai objek, bukan subjek yang berhak tahu dan berhal menentukan masa depan mereka.

Kegagalan regulasi ini tidak hanya berlaku pada masa awal semburan, tetapi juga berlanjut hingga sekarang. Negara cenderung focus pada upaya fisik seperti memperkuat tanggul, tetapi mengabaikan pemulihan sosial, psikologis, dan budaya warga. Padahal kerusakan lingkungan dan trauma sosial tidak bisa diselesaikan hanya dengan membangun dinding tanah setinggi belasan meter.

PT Lapindo Brantas sebagai pihak yang melakukan pengeboran menjadi sorotan utama. Banyak ahli menilai semburan lumpur terjadi karena kelalaian teknis dan tidak diterapkannya prosedur pengeboran yang benar. Namun hingga kini, narasi “bencana alam” masih terus dipertahankan sebagian pihak, seakan-akan untuk meringankan beban tanggung jawab perusahaan.

Meski sebagian ganti rugi pernah dibayarkan, banyak warga menilai nilainya tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami. Bagaimana mengukur harga sebuah rumah yang bukan hanya bangunan, melainkan ruang kenangan? Bagaimana mengganti hilangnya tradisi desa yang sudah ratusan tahun terjaga? Bagaimana menebus trauma anak-anak yang tumbuh dalam pengungsian?

Di titik inilah kita melihat bahwa tanggung jawab korporasi seharusnya tidak berhenti pada Ganti rugi finansial. Perusahaan wajib melakukan pemulihan ekologis, memberikan jaminan Kesehatan jangka Panjang, serta ikut menanggung upaya pemulihan budaya dan sosial warga terdampak. Tanpa itu semua, pertanggungjawaban hanya akan terasa setengah hati.

Di tengah lambannya respons negara dan korporasi, masyarakat sipil mengambil peran penting. LSM, organisasi lingkungan, akademisi, dan komunitas korban terus bersuara agar tragedi ini tidak dilupakan. Mereka melakukan dokumentasi, advokasi, bahkan mengubah lokasi semburan menjadi ruang edukasi publik.

Generasi muda memiliki peran besar di sini. Banyak di antara mereka yang lahir setelah tahun 2006, namun mereka tumbuh mendengar kisah pahit orang tua. Jika suara mereka bisa terus diperkuat, tragedi Lapindo bisa dijadikan pelajaran penting bagi pembangunan Indonesia: jangan pernah mengorbankan lingkungan demi kepentingan sesaat.

Negara hadir bukan sekadar sebagai pemberi izin eksplorasi, tetapi sebagai pelindung rakyat. Namun, dalam kasus Lapindo, negara justru tampak lebih banyak menjadi penengah yang gamang. Hingga kini, masih ada warga yang menunggu ganti rugi. Proses hukum pun tidak berjalan seefektif yang diharapkan.

Sementara itu, dampak kesehatan dan lingkungan jangka panjang nyaris tidak mendapat perhatian serius. Tidak ada program khusus yang memantau kesehatan korban secara berkelanjutan, padahal mereka hidup di sekitar sumber gas beracun.

Selain itu, negara juga gagal menghadirkan keadilan ekologis. Bukannya memperketat regulasi agar tragedi serupa tidak terulang, izin-izin eksplorasi ekstraktif di berbagai daerah justru terus digelontorkan. Seolah-olah Lapindo tidak pernah memberi pelajaran.

Tragedi Lapindo adalah bencana alam sekaligus cermin buruk dari pembangunan yang mengabaikan lingkungan. Alam yang tak lagi ramah bukanlah fenomena alam semata, melainkan akibat ulah manusia yang serakah, regulasi yang longgar, dan negara yang lalai.

Ketika kita bertanya, “Salah siapa?” maka jawabannya jelas: perusahaan yang abai, negara yang lemah, dan kita semua yang sering lupa. Namun lebih dari sekadar mencari siapa yang bersalah, editorial ini menekankan pentingnya apa yang harus dilakukan.

Korporasi wajib bertanggung jawab penuh, tidak hanya secara materi, tetapi juga ekologis an sosial.

  1. Negara harus hadir lebih nyata, memberi kepastian ganti rugi, memulihkan leingkungan, dan melindungi hak warga.
  2. Regulasi lingkungan harus ditegakkan, bukan hanya di atas kertas.
  3. Masyarakat sipil harus terus mengawasi, agar tragedy ini tidak menguap dari ingatan.
  4. Generasi muda harus belajar, bahwa membangun tanpa memperhitungkan alam hanyalah menggali lubang untuk kehancuran masa depan.

Lumpur Lapindo bukan sekadar semburan lumpur. Ia adalah semburan luka, semburan ketidakadilan, semburan yang menantang nurani kita sebagai bangsa. Jika kita gagal menyembuhkannya, maka kita sedang mewariskan luka itu kepada generasi mendatang.

Ketika alam tak lagi ramah, jangan buru-buru menyalahkan alam. Lihatlah manusia, lihatlah sistem, lihatlah siapa yang lalai. Sebab alam selalu memberi tanda, tetapi manusialah yang sering menutup mata.

Editor: Diana Ayu

Posting Komentar untuk "Bencana Alam: Ketika Alam Tak Lagi Ramah, Salah Siapa?"