Bangsa yang Bisa Membaca, tapi Enggan Membaca: Sebuah Alarm Literasi Indonesia
![]() |
Foto oleh ROMAN ODINTSOV dari Pexels.com |
Indonesia adalah negeri besar dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, penuh dengan potensi dan keberagaman. Secara statistik, bangsa ini telah berhasil menorehkan capaian yang cukup membanggakan: menurut data UNESCO tahun 2020, tingkat melek huruf masyarakat Indonesia mencapai sekitar 96 persen.
Artinya, hampir seluruh penduduk mampu membaca dan menulis secara teknis. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: adakah kemampuan membaca tersebut diikuti dengan minat baca yang tinggi dan kualitas literasi yang memadai?
Sayangnya, jawaban yang muncul justru menyedihkan. Laporan dari sejumlah survei internasional menempatkan minat baca Indonesia dalam literasi dunia pada posisi paling bawah.
Di satu sisi, kita bangga sebagai bangsa yang mayoritas warganya “bisa membaca,” tetapi di sisi lain, kita harus menunduk malu karena masyarakat kita “enggan membaca.” Sebuah ironi yang menyakitkan, seklaigus alarm keras bagi masa depan peradaban bangsa.
Salah satu penyebab rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia adalah keterbatasan akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas. Mungkin sebagian orang akan bertanya: bukankah era digital membuat semua orang bisa membaca di mana saja? Nyatanya, kenyataan tidak seindah itu.
Di kota besar, toko buku memang tersedia, meski harganya sering kali tidak ramah bagi kantong masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun, bagaimana dengan daerah pelosok? Banyak desa yang minim fasilitas perpustakaan dengan buku bacaan seadanya, dan jika pun ada, koleksinya sering kali using dan tidak relevan.
Seorang aktivis literasi dari Nusa Tenggara Timur, misalnya, pernah mengeluhkan: “Kami ingin anak-anak gemar membaca. Tapi apa yang bisa kami lakukan kalau buku saja sulit didapatkan? Kadang perpusatakaan desa hanya berisi buku pelajaran usang dari 20 tahun lalu.”
Pertanyaan retoris pun muncul: bagaimana kita bisa berharap menumbuhkan minat baca masyarakat yang tinggi jika bahan bacaan bermutu nyaris tidak hadir di hadapan mereka?
Budaya baca seharusnya tumbuh dari rumah. Namun, keluarga di Indonesia lebih sering memperkenalkan gawai daripada buku. Orang tua memberikan ponsel kepada anak-anak sejak usia dini agar mereka tenang, alih-alih membacakan cerita sebelum tidur.
Guru besar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof. Fasli Jalal, pernah menekankan: “Anak—anak akan mencintai buku bila orang tuanya menjadi teladan. Jika orang tua lebih sibuk dengan ponsel, jangan harap anak-anak tumbuh dengan kecintaan terhadap buku.”
![]() |
Foto oleh Andy Kuzma dari Pexels.com |
Sayangnya, fenomena yang kita lihat justru sebaliknya. Buku tidak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di rumah tangga. Apakah kita tidak sadar bahwa dengan membiarkan hal ini terus berlanjut, kita sedang membentuk generasi yang lebih akrab dengan notifikasi media sosial daripada aroma kertas buku?
Era digital memang membawa berkah, tetapi juga menghadirkan tantangan besar. Kini masyarakat lebih suka menonton video pendek di media sosial ketimbang membaca buku tebal. Informasi instan lebih menggoda daripada bacaan panjang yang membutuhkan konsentrasi.
Psikolog pendidikan, Dra. Ratna Megawangi, menyatakan: “Anak-anak kita dibombardir oleh konten visual yang cepat, singkat, dan menghibur. Mereka terbiasa dengan pola konsumsi instan, sehingga membaca yang memerlukan imajinasi dan kesabaran terasa membosankan.”
Apakah kita rela membiarkan anak-anak tumbuh dengan pola pikir yang serba instan. Tanpa daya kritis, tanpa ketekunan, hanya karena mereka tidak terbiasa untuk membaca teks yang panjang?
Sekolah, seharusnya menjadi benteng terakhir dalam kegiatan literasi, sayangnya belum sepenuhnya mampu untuk menumbuhkan minat baca. Membaca di sekolah lebih sering diperlakukan sebagai tugas, bukan kebiasaan yang menyenangkan.
Seorang guru SMA di Yogyakarta pernah mengungkapkan: “Murid saya bisa membaca kata demi kata, tapi ketika saya tanya isi bacaan, mereka kebingungan. Mereka membaca hanya untuk menggugurkan kewajiban, bukan untuk memahami.”
Di sinilah letak persoalan mendasar: kurikulum lebih menekankan pada kemampuan teknis mengeja dan menghapal, bukan pada penguasaan makna, interpretasi, dan analisis. Jika sekolah tidak mampu menanamkan kecintaan membaca, di mana lagi anak-anak bisa menemukan semangat dan kemampuan literasi?
Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program literasi, seperti “Gerakan Literasi Sekolah” atau kampanye membaca 15 menit sebelum pelajaran. Namun, sejauh manakah efektivitasnya?
Seorang peneliti kebijakan pendidikan, Dr. Doni Koesoema, berkomentar: “Kebijakan literasi kita sering kali lebih banyak berupa seremoni dan kampanye, bukan program berkelanjutan. Literasi tidak bisa dibangun dengan spanduk atau lomba, melainkan dengan sistem yang terintegrasi.”
Betapa ironisnya, di negara sebesar Indonesia, anggaran untuk literasi dan buku masih kalah jauh dibandingkan dengan belanja infrastruktur fisik. Apakah kita lupa bahwa infrastruktur terpenting dalam membangun bangsa adalah infrastruktur pikiran?
Kekhawatiran ini tidak hanya datang dari akademisi atau pemerintah. Banyak kalangan juga angkat suara.
- Guru mengeluh karena murid-murid lebih suka menyalin jawaban dari internet daripada membaca buku teks.
- Orang tua resah karena anak-anak sulit diminta membaca, tetapi bisa berjam-jam menatap layar.
- Aktivis literasi frustrasi karena perpustakaan komunitas mereka kekurangan dukungan dana.
- Mahasiswa mengakui bahwa membaca jurnal terasa membosankan, sementara membaca status media sosial terasa lebih menarik.
Apakah ini bukan tanda nyata bahwa kita sedang menghadapi krisis budaya baca?
Meski situasi tampak suram, harapan masih ada. Banyak komunitas kecil telah menunjukkan cahaya. Komunitas baca di desa-desa, perpustakaan keliling, hingga inisiatif taman bacaan mandiri membuktikan bahwa ketika ada usaha nyata, minat baca bisa tumbuh.
Pemerintah perlu belajar dari gerakan-gerakan kecil itu, lalu memperluas dampaknya. Buku harus lebih murah, perpustakaan harus lebih hidup, kurikulum harus menumbutuhkan kecintaan membaca, dan teknologi harus dipakai sebagai sarana literasi, bukan sekadar hiburan.
Yang lebih penting, keluarga harus kembali menjadi fondasi literasi. Membacakan dongeng sebelum tidur, menghadiahkan buku ulang tahun, atau sekadar membaca bersama anak di ruang keluarga—langkah sederhana yang bisa mengubah arah masa depan.
Kini saatnya berhenti merasa puas dengan angka melek huruf yang tinggi. Angka itu memang layak diapresiasi, tetapi tanpa budaya baca, angka tersebut hanyalah angka kebanggaan semu. Membaca bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan keterampilan hidup yang menentukan arah bangsa.
Tanpa literasi, masyarakat mudah termakan hoax, sulit berpikir kritis, dan gampang terpecah belah. Tanpa literasi, bangsa kehilangan imajinasi, kreativitas, dan daya saing. Apakah kita rela melihat generasi masa depan hanya menjadi “penonton” di panggung dunia karena enggan membaca?
Budaya Literasi di Indonesia harus bangkit. Kita tidak boleh hanya menjadi bangsa yang “bisa membaca,” tetapi harus bertransformasi menjadi bangsa yang “cinta membaca, kritis, dan berdaya cipta.” Sejarah hanya akan berpihak pada bangsa yang membaca. Indonesia harus menjadi bangsa yang bukan sekadar melek huruf, tetapi bangsa yang tercerah oleh literasi.
Editor: Diana Ayu
Posting Komentar untuk "Bangsa yang Bisa Membaca, tapi Enggan Membaca: Sebuah Alarm Literasi Indonesia"
Posting Komentar